Syaikhuna KH. Maimoen Zubair melihat tsunami Aceh
sebagai bencana yang sama bahkan lebih dahsyat dibanding bencana yang menimpa
kaum nabi Hud. Bencana semacam ini tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga
pernah dialami negara negara Islam lain. Menurut beliau apa yang terjadi di
Aceh adalah Ayat Kauniyah yang kasat mata sebagai tanda atas kekuasaan
Allah sekaligus sebagai peringatan (takhwif) kepada hambaNya. Allah
berfirman:
“Dan Kami tidak
memberi tanda-tanda itu melainkan untuk menakuti.” (QS. 17;59).
Selanjutnya
Syaikhuna KH. Maimoen Zubair menjelaskan bahwa tanda-tanda Allah bisa berupa
tanda yang didengar (ayat sam’iyah), yaitu ayat Al-Quran, atau tanda
alam yang kasat mata (ayat kauniyah), yaitu fenomena alam. Bagi orang
orang berakal (ulul albab) ayat sam’iyah bisa menjadi petunjuk ke
jalan yang benar. Allah berfirman:
“Demikianlah
Allah mempertakuti hamba-hambaNya dengan adzab itu. Maka bertaqwalah kepada-Ku
hai hamba-hambaKu.” (QS. 39:16).
“Dan
orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat
mutasyabihat, semua itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil
pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.” (QS.3:7).
Tetapi bagi
mereka yang bebal rasa dan pikiran, ayat sam’iyah tidak akan dapat
menyentuh kesadaran religius mereka. Justru sebaliknya, ayat sam’iyah
akan semakin menyuburkan kedurhakaan dan menjauhkan mereka dari kebenaran.
“Dan Kami tidak menjadikan mimpi yang telah Kami
perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia dan (begitu pula)
pohon kayu yang terkutuk dalam al-Qur’an. Dan Kami menakut-nakuti mereka,
tetapi yang demikian itu hanyalah menambah besar kedurhakaan mereka.” (QS.17:60).
Disinilah urgensi ayat kauniyah. Allah
menurunkan ayat kauniyah sebagai bentuk belas kasih kepada mereka yang
bebal rasa dan pikiran, agar mereka sadar. Sebab, mereka adalah orang-orang
yang tidak dapat disentuh kesadarannya dengan kata kata, dan karenanya sebuah
kenyataan pahit bisa jadi menyadarkan mereka. Jika mereka mau merenunginya lalu
insyaf dan sadar, maka Allah akan mengampuni segala kedurhakaan di masa lalu.
Tetapi jika mereka bergeming dengan kedurhakaan dan kecongkakannya, maka
sesungguhnya Allah maha kuasa untuk melakukan apapun yang dikehendakiNya.
“Maka mengapa
mereka tidak memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri ketika
datang siksaan Kami kepada mereka, bahkan hati mereka telah menjadi keras dan
syaitan pun menampakkan kepada mereka kebagusan apa yang selalu mereka
kerjakan.” (QS.6:43).
“Dan
sesungguhnya Kami telah pernah menimpakan adzab kepada mereka, maka mereka
tidak tunduk kepada Tuhan mereka, dan (juga) tidak memohon (kepadaNya) dengan
merendahkan hati.” (QS.
Al-Mu’minun: 76).
Jika ditelusuri
lebih dalam, maka setiap bencana yang menimpa sejatinya adalah ayat kauniyah
yang diperdengarkan. Bagi yang beriman setiap ayat yang diperdengarkan, baik sam’iyah
maupun kauniyah, akan semakin mempertebal keimanannya.
“…dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya,
bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.” (QS. Al-Anfal: 02).
Tetapi bagi
orang orang yang tidak mau merenung, ayat apapun yang diperdengarkan tidak akan
pernah menggoyahkan keangkuhan dan kedurhakaan mereka. Sedangkan bagi orang
orang yang mau insyaf, ayat yang diperdengarkan akan menjadikan mereka tunduk
kepada Allah dan bersedia mengikuti jalan orang orang yang beriman.
Dengan demikian jelaslah bahwa bencana sebagai
personifikasi ayat kauniyah adalah azab dan pada saat yang sama juga
rahmat. Ia adalah azab hanya bagi orang orang yang berbuat dosa, bukan bagi
seluruh umat manusia.
“Dan apa saja
musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu
sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. As-Syuro: 30).
“Apa saja ni’mat yang pernah kamu peroleh adalah dari
Allah dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu
sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah
Allah menjadi saksi.” (QS. An-Nisa’:
79).
Dan bagi orang
orang saleh ia adalah rahmat, ujian bahkan juga seleksi. Bencana adalah ayat
kauniyah Allah yang akan semakin mempertebal keimanan mereka, sama dengan
ayat ayat al-Quran. Ummu Salamah mengkisahkan bahwa ia mendengar Rasulullah
bersabda, “jika kemaksiatan telah melanda umatku, maka Allah akan menimpakan
azab kepada mereka.” Ummu Salamah bertanya, “Bukankah didalamnya terdapat orang
orang saleh?” Rasulullah menjawab, “Benar,” Ummu Salamah bertanya lagi, “lalu
apa yang terjadi pada mereka?” Rasulullah menjawab, “mereka mengalami apa yang
dialami orang lain, lalu mereka mendapatkan pengampunan dan ridlo dari Allah.”
(Ahmad:25382).
Seorang penyair berkata:
BagiMu segala
puji, sesungguhnya bencana adalah pemberian. Dan musibah adalah sebagian derma
Jadi, sejatinya azab hanya ditimpakan kepada mereka
yang berbuat dosa, tetapi orang yang saleh juga merasakan getahnya. Sebab,
setiap kali azab ditimpakan kepada suatu umat, maka azab itu akan dirasakan
seluruh orang yang ada di dalamnya.
Dalam Bab Idza Anzala Allahu bi-Qoumin ‘adzaban, Bukhori
menyebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Jika Allah menurunkan adzab
kepada suatu kaum, maka adzab itu akan menimpa siapapun yang termasuk di dalam
kaum tersebut. Kemudian mereka dibangkitkan berdasarkan amal perbuatan masing
masing.” (Buckhori:6575)
Dalam Syarahnya, Ibnu Hajar mengutip riwayat Shohih
Ibnu Hibban dari Aisyah: “Ketika Allah menurunkan tamparanNya kepada ahli
siksa, sementara di dalamnya ada orang orang saleh, maka orang orang saleh itu
akan turut dibinasakan bersama ahli siksa. Kemudian mereka akan dibangkitkan
berdasarkan niat dan amal masing masing.” Ibnu Hajar juga mengutip riwayat
Baihaqi dalam asy-Syu’ab: “Ketika keburukan melanda di muka bumi, maka
Allah menurunkan bencanaNya kepada mereka.” Ditanyakan, “(meskipun) di dalamnya
ada orang orang taat?” Rasulullah menjawab, “ya, kemudian mereka dibangkitkan
menuju rahmat Allah.”
Tentang hal ini Ibnu al-Qoyyim, seperti para ulama
salaf, mengatakan bahwa adakalanya Allah mengijinkan bumi mengalami gempa, dan
terjadilah gempa dahsyat. Lalu gempa itu menumbuhkan rasa takut, khawatir,
keinginan bertaubat dari maksiat, tunduk kepada Allah dan penyesalan.
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan bahwa pada masa
Rasulullah Madinah pernah diguncang gempa. Lalu Rasulullah bersabda,
“Sesungguhnya Tuhanmu memerintahkanmu untuk mendapatkan ridloNya. Karena itu
ridlokanlah Tuhanmu.” (Mushannafu Ibnu Abi Syaibah: 302,2)
Dikisahkan dari Shofiyyah bahwa pada masa Umar Madinah
pernah diguncang gempa. Lalu Umar berkata, “Betapa cepat apa yang kalian
timbulkan (bencana). Seandainya gempa itu kembali mengguncang maka pasti aku
termasuk di dalamnya (ikut kena getahnya).” (Ibnu Abi ad-Dunya :17)
Ibnu Abi ad-Dunya mengisahkan bahwa Anas bin Malik dan
seorang laki-laki menemui Aisyah. Laki-laki itu berkata, “Wahai Ummil Mu’minin,
ceritakan kepadaku tentang gempa,” Aisyah menjawab, “Ketika orang-orang telah
menghalalkan perzinaan, minuman keras dan alat musik, maka Allah murka dan
memerintahkan kepada bumi, gempalah kepada mereka. Jika mereka bertaubat dan
insyaf (berhentilah). Dan jika tidak, hancurkanlah mereka.” Laki-laki itu kembali
bertanya, “Wahai Ummil Mu’minin, apakah sebagai sanksi kepada mereka?”
Aisyah menjawab, “sebaliknya, (hal itu) merupakan nasihat dan rahmat bagi orang
beriman dan pembalasan, siksa serta murka bagi orang orang kafir.” (Ibnu Abi
ad-Dunya :20).
Selanjutnya Syaikhuna KH. Maimoen Zubair mengingatkan
bahwa di dalam syariat Islam hukum ditetapkan berdasarkan apa yang tampak di
permukaan. Sedangkan apa yang tidak tampak diserahkan ketetapan hukumnya kepada
Allah. Manusia tidak berhak, bahkan juga tidak mampu, mengintervensi apa yang
menjadi hak prerogatif Allah. Kita menghukumi ahlul qiblah dan orang
yang mengucap kalimat tauhid sebagai mu’min. Kita tidak perlu menelisik hakikat
keimanan dan keikhlasan tauhid mereka. Sebab, hal itu merupakan wilayah kewenangan
Allah dan bukan urusan manusia.
Berkaitan
dengan hal tersebut, bencana yang mayoritas korbannya adalah umat Islam, patut
direnungkan. Jika kita menilai secara lahiriyah bahwa mereka mu’min, maka tidak
dengan serta merta mereka mu’min sejati di hadapan Allah. Sebab, penilaian
Allah didasarkan pada apa yang sesungguhnya terjadi. Rasulullah telah
mengisyaratkan hal ini ketika bersabda, “Segeralah beramal sebelum terjadi
fitnah yang bagaikan tumpukan malam gulita dimana terjadi: di pagi hari
seseorang beriman dan petang harinya sudah menjadi kafir; atau di petang hari
beriman dan pagi harinya berubah menjadi kafir. Ia menjual agamanya
dengan harta yang tak seberapa”. (Muslim:169)
Dalam riwayat
Anas bin Malik pun disebutkan bahwa Raulullah pernah bersabda, “Sebelum hari
kiamat akan ada fitnah yang bagaikan tumpukan malam gulita dimana terjadi
seseorang beriman di pagi hari dan sorenya berubah menjadi kafir; dan seseorang
beriman di seore hari lalu manjadi kafir keesokan harinya. Banyak orang menukar
agamanya dengan harta dunia.”(Ibnu Abi Syaibah:108)
Nabi juga bersabda, “Tak ada seorang Nabipun selain ia
memiliki pendukung yang mau mengikuti petunjuknya dan berjalan di atas
tradisinya (sunnah). Lalu lahir generasi berikutnya yang mengatakan apa yang
tidak dilakukan dan melakukan apa yang diinkarinya. Barang siapa berjuang
dengan tangannya maka ia adalah seorang mu’min; barang siapa berjuang dengan
kata-kata, maka ia adalah seorang mu’min; dan barang siapa berjuang dengan
hatinya, maka juga seorang mu’min. Di luar itu, tak ada lagi keimanan meskipun
hanya seberat biji selada.” (Muslim:71)
Jika demikian, lalu sebenarnya apa yang telah
diperbuat umat Islam hingga Allah mengirimkan ayat kauniyahNya?
Pertanyaan ini yang didasari niat tulus untuk melakukan instropeksi dan
menyadari kekurangan diri, tentu sangat penting demi menentukan perilaku yang
tepat pasca bencana. Dan perilaku inilah yang akan menentukan: apakah bencana
yang menimpa merupakan siksa yang berujung keburukan dan kehancuran umat, atau
cobaan dan rahmat yang mewariskan kebaikan serta kesejahteraan umat. Sebab,
seperti disampaikan sebagian ulama, manusia itu mutabayyin (menjadi tahu
setelah tidak tahu).
Di akhir bagian
ini Syaikhuna KH. Maimoen Zubair berdoa, “Semoga Allah tidak menjadikan umat
kita termasuk dua golongan yang akan saya jelaskan nanti.”
Di antara macam
manusia ada orang orang yang bisa sadar cukup hanya dengan isyarat; orang orang
yang bisa sadar setelah mendapatkan penjelasan panjang lebar; orang-orang yang
hanya patuh dengan aturan; dan orang-orang yang baru sadar setelah bencana
menimpa dirinya atau tetangganya.
Ada dua
golongan lagi yang paling buruk, seperti doa yang dipanjatkan Syaikhuna di
atas. Golongan pertama adalah orang-orang yang baru insyaf di saat ia
dalam keadaan sekarat. Allah berfirman:
أو يأتي ربك أو يأتي بعض آيات ربك يوم يأتي بعض آيات ربك لا ينفع نفسا إيمانها لم تكن آمنت من قبلُ أو كسبت في إيمانها خيرا قل انتظرورا إنا منتظرون
“…atau
kedatangan Tuhanmu atau kedatangan sebagian tanda-tanda Tuhamnu tidaklah
bermanfaat bagi iman seseorang bagi dirinya sendiri yang belum beriman sebelum
itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya. Kakatanlah;
“Tunggulah olehmu sesungguhnya kami pun menunggu (pula).” (QS. 6;158).
Termasuk dalam
golongan ini adalah Fir’aun yang durhaka, seperti diceritakan Allah dalam
al-Quran.
حتى إذا أدركه الغرق قال آمنت أنه لا إله إلا الذي آمنت به بنو إسرائيل وأنا من المسلمين
“…hingga bila
Fir’aun itu telah hampir tenggelam berkatalah dia: “Saya percaya bahwa tidaklah
ada Ilah melainkan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk
orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” ( QS. 10;90).
Tetapi di saat
ajal di depan mata, pintu iman dan taubat telah tertutup dan penyesalanpun
tiada guna.
الآن وقد عصيت قبل وكنت من المفسدين فاليوم ننجيك ببدنك لتكون لمن خلفك آية وإن كثيرا من الناس عن آياتنا لغافلون
“Apakah
sekarang (baru kamu percaya), padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak
dahulu, dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. 10;91).
Golongan kedua adalah orang orang berhati batu yang selalu berbuat
maksiat. Dan karenanya Allah menyesatkan jalannya, mengunci hati dan
pendengarannya serta menjadikan penutup di matanya. Bagi mereka ada peringatan
atau tidak, sama saja: mereka tidak akan beriman. Allah telah menguji mereka
dengan diberi kabaikan dan keburukan, tetapi mereka tidak insyaf. Allah
menghendakkan ayat sam’iyahNya dan memberlakukan ayat kauniyahNya
kepada mereka, tetapi tidak pula mereka insyaf. Lalu Allah menangguhkan azabnya
agar mereka semakin durhaka. Dan jika saatnya tiba Allah akan mengazabnya
ولقد أرسلنا إلى أمم من قبلك فأخذناهم بالبأساء والضرّاء لعلهم يتضرعون. فلولا إذ جاءهم بأسنا تضرعوا ولكن قست قلوبهم وزيّن لهم الشيطان ما كانوا يعملون. فلما نسوا ما ذكروا به فتحنا عليهم أبواب كل شيء حتى إذا فرحوا بما أوتوا أخذناهم بغتة فإذا هم مبلسون. فقطع دابر القوم الذين ظلموا والحمد لله رب العالمين
“Dan
sesungguhnya Kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada umat-umat yang sebelum
kamu, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan dan
kemelaratan, supaya mereka memohon (kepada Allah) dengan tunduk, merendahkan
diri. Maka mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah) dengan tunduk
merendahkan diri ketika datang siksaan Kami kepada mereka, bahkan hati mereka
telah menjadi keras dan syaitan pun menampakkan kepada mereka kebagusan apa
yang selalu mereka kerjakan. Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang
telah diberikan kepada mereka, kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan
untuk mereka; sehingga apabila mereka gembira dengan apa yang telah diberikan
kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu
mereka terdiam berputus asa. Maka orang-orang yang dzalim itu dimusnahkan
sampai ke akar-akarnya. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. (QS. 6;42-45).
Agar umat kita
tidak termasuk dua golongan terburuk ini, maka mereka harus jujur terhadap diri
sendiri dan menyadari bahwa bencana yang diturunkan Allah merupakan akibat dari
keburukan-keburukan yang telah mereka perbuat. Bencana itu juga diakibatkan
oleh ketidak-patuhan mereka terhadap perintah-perintah Allah, kedurhakaan
mereka terhadap Rasul dan keberpalingan mereka dari jalan benar para ulama yang
merupakan pewaris para nabi. Dengan demikian murka Allah bisa menjadi rahmat
bagi mereka.
وما أصابكم من مصيبة فبما كسبت أيديكم ويعفوا عن كثير
“Dan apa saja
musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu
sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. As-Syuro: 30).
ذلك بأن الله لم يك مغيّرا نعمة أنعمها على قوم حتى يغيّروا ما بأنفسهم وأن الله سميع عليم
“Yang demikian
(siksaan) itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan merubah
suatu ni’mat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu
mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan sesungguhnya Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Anfal;
53).
Kemudian mereka
harus bertaubat dan beristighfar dengan cara: menyesali, meninggalkan, serta
berjanji tidak akan mengulang dosa dosa yang diperbuat; mengembalikan harta
yang diambil dengan jalan aniaya; lalu memohon ampun kepada Allah.
وما كان الله ليعذّبهم وأنت فيهم وما كان الله معذّبهم وهم يستغفرون
“Dan Allah
sekali-kali tidak akan mengajak mereka, sedang kamu berada di antara mereka.
Dan tidaklah (pula) Allah akan mengajak mereka, sedang mereka meminta ampun.” (QS. 8:33).
Sebab taubat
dan istighfar adalah dua tiket untuk mendapatkan rahmat, kebaikan dan berkah.
Nabi Nuh, sebagaimana diceritakan al-Quran, berkata kepada kaumnya:
فقلت استغفروا ربكم إنه كان غفّارا. يرسل السماء عليكم مدرارا. ويمددكم بأموال وبنين ويجعل كلم جنّات ويجعل لكم أنهارا. ما لكم لا ترجون لله وقارا
“…maka aku
katakana kepada mereka: “Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah
Maha Pengampun,” niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan
membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan
mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai. Mengapa kamu tidak percaya
akan kebesaran Allah?” (QS. Nuh;
10-13).
Selain itu
mereka juga harus berendah diri dan kembali kepada Allah seperti yang dilakukan
para ulama dari berbagai strata. Seyogyanya tiap lapisan umat berendah diri
sesuai dengan kedudukan masing-masing. Ulama memiliki cara yang berbeda dengan
umara dan lapisan lain dalam berendah diri. Demikian pula umara dan lapisan
lain. Sebab, tiap individu memiliki strata dan karakteristik yang berbeda.
Berendah diri
tidak dilakukan dengan cara menggelar istighotsah kubro di lapangan, di
jalan raya atau di pasar. Cara cara seperti ini tidak pernah dikenal
generas-generasi terdahulu. Bahkan bisa jadi istighotsah adalah bid’ah yang
dianggap sebagian kalangan sebagai kebaikan agama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar